Tuesday, February 19, 2013

Jakarta dan pekerja ibu

Sebenernya saat menulis ini saya bukanlah seorang ibu, tetapi pekerja sekitar saya tidak jarang adalah seorang ibu. Dan saya sangat tertarik untuk menceritakan bagaimana keseharian mereka mulai dari pagi hingga petang berdasarkan cerita dari mereka.

Kebetulan saya ini bekerja pada instansi pemerintah, dimana jam kerja dimulai dari jam 7.30 WIB hingga 16.00 WIB untuk hari senin-kamis dan  jam 7.30 WIB hingga 16.30 WIB untuk hari jumat. Bagi saya, sebagai perempuan yang belum memiliki tanggungan keluarga, untuk jam datang dan jam pulang seperti itu tidak terlalu bermasalah bahkan sampai malam pun tidak mengapa (kemudian besoknya tewas di kasur xixixi). Namun bagi seorang ibu, haruslah pandai-pandai mengatur waktu agar bisa datang tepat waktu.

Kemudian bagi saya yang masih nge-kos, jarak antara kantor dan rumah tidaklah terlalu jauh. Bandingkan dengan mereka yang sudah berkeluarga. Pada umumnya mereka yang sudah berkeluarga memiliki rumah di luar Jakarta yaitu di kota-kota penyanggah Jakarta seperti Bekasi, Depok, Tangerang bahkan ada pula yang bertempat tinggal di Bogor. Alasan mereka bertempat tinggal di luar Jakarta biasanya dikarenakan harga rumah di sana lebih murah dibanding dengan di Jakarta. Selain itu, faktor lingkungan juga menentukan pilihan mereka untuk memiliki rumah di luar Jakarta. Bisakah Anda bayangkan jam berapa mereka harus berangkat dan bangun pagi? Bagi seorang bapak mungkin rutinitas seperti ini tidak terlalu bermasalah tetapi bagaimana dengan seorang ibu, apalagi ibu yang masih memiliki anak kecil atau bahkan balita? Bangun jam berapa? siapa yang mengurus anak atau bayinya? Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu kemudian saya berusaha bertanya kepada ibu-ibu di kantor saya mengenai bagaimana mereka mengatasi hal tersebut. (ini mungkin survei kecil-kecilan, dengan sampel segelintir orang hehe)

Mereka pada umumnya bangun pagi-pagi buta sekitar jam 3.30 wib. Sebelum berangkat mereka harus menyiapkan makanan, membangunkan anak, dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Rata-rata mereka mencapai tempat kerja dengan menggunkan kereta karena dinilai lebih cepat, terhindar dari macet ibu kota. Bagi ibu yang memiliki bayi ataupun balita akan mengalami kendala yang sangat berarti. Apalagi cuti yang diberikan hanyalah 3 bulan sebelum dan setelah melahirkan. Jadi seorang ibu hanya akan sempat menunggui anaknya hanya 3 bulan penuh, itupun kalau memang waktu cuti diambil mendekati kelahiran. Kemudian bagaimana seorang ibu akan memberikan ASI secara ekslusif kepada anaknya? Serta bagaimana seorang ibu akan mengawasi dan membina anakknya dalam masa tumbuh kembangnya? Sedangkan waktu yang dihabiskan oleh anak tersebut tidak bersama ibunya. Tidak sedikit pula yang menyerahkan pengasuhan kepada baby sister atau bahasa kasanya pembantu sehingga waktu anak mereka lebih banyak dengan pengasuh mereka.

Pada masa tumbuh kembang anak  itulah perlu sekali perhatian dan bimbingan dari orang tua karena pada masa itu perilaku dan sikap anak dibentuk melalui lingkungan sekitar dengan menirukan apa yang dilihat dan didengar. Untuk diperlukannya pengawasan orang tua terutama ibu dalam membimbing anaknya. Namun bagaimana jika ibu tersebut dari pagi buta hingga petang tidak dirumah? Sedangkan saat berangkat , anaknya masih terjaga terlelap dan saat pulang anak mereka akan terlelap. Sebagian kecil ibu yang bekerja terkadang merelakan untuk melepaskan pekerjaannya demi mengasuh anaknya. (So sweet bukan?? itulah perempuan gak tegaan penuh perasaan dan kasih sayang hehe) dan menjadi ibu rumah tangga. Bahkan mungkin ibu-ibu tersebut tidak hilang akal untuk membuka usaha agar perekonomian keluarga tetap utuh. Hal lain dengan ibu yang masih mempertahankan pekerjaannya, mereka harus rela sebagian waktunya di kantor. Namun tidak habis akal pula untuk ibu-ibu tersebut, dengan menitipkan anaknya pada playgroup. Namun apa jadinya kalau anaknya masih berumur 3-4 bulan lebih?. Biasanya ibu-ibu tersebut memang menyewa pengasuh tetapi mereka biasanya meminta keluarga dekat untuk tinggal bersama mereka guna mengawasi pengasuhnya. (Kalau tidak diawasi nanti kaya ditipi tipi lagi, hehe sereem). Namun bagaimana kalau tidak ada keluarga dekat? Mereka hanya pasrah, menggantungkan segalanya kepada yang memiliki takdir. Kalau masalah ASI Eksklusif, ibu-ibu kantor biasanya menyimpan dalam botol ASI yang mereka perah dan menyimpannya dalam lemari es. Dengan demikian ASI eksklusif tetap diberikan dalam bentuk botol. (Ya anak botol... padahal katanya saat menyusui bayi secara langsung disitulah ketenangan dirasakan oleh si bayi, lah kalo botol..??). Memang ASI Eksklusif dan pendidikan anak tetap berjalan tetapi hubungan anak dan ibu bagaimana akan terjalin dengan erat? Ya kedekatan disini memang perlu dibangun. Kedekatan ini bisa dibangun jikalau di setiap kantor menyediakan tempat penitipan bayi bukan sekedar balita sehingga seawktu ibu tersebut memiliki waktu luang, ibu tersebut dapat menengok anaknya. Anak senang ibupun tenang. Atau mungkin menerapkan Virtual Office di kantor (kalau yang ini hmmm... ??) Setidaknya tidak perlu ke kantor, kerjaan yang bisa dikerjakan dirumah kenapa harus di kantor. Ya itulah sedikitnya cerita ibu-ibu kantor... nah loh gimana, rempongkan?? hehe. Namun hidup itu pilihan, apapun itu harus tetap semangat..

No comments:

Post a Comment